Terperangkap dalam Dunia Percetakan - Part 1
Terjunnya saya ke dunia percetakan merupakan realisasi dari pernyataan bahwa setiap perkataan adalah do'a. Bagaimana tidak, ide untuk menggeluti mata pencaharian yang saya tekuni saat ini ternyata tak muncul tiba-tiba.
Secara sadar atau tidak, sejak masa sekolah menengah atas (SMA) saya sering berujar bahwa kelak akan membuka usaha fotocopian (dulu belum tau ada bisnis percetakan).
Menginjak akhir masa SMA saya mulai berkenalan dengan yang namanya Corel Draw lewat mata pelajaran TIK, dari sanalah saya mulai tertarik dengan desain grafis. Semenjak itu saya tekun mempelajari Corel Draw secara otodidak baik itu di Lab Komputer Sekolah maupun di Warnet, karena saat itu saya belum punya komputer sendiri.
Ketertarikan saya pada desain grafis terus berlanjut sampai masa kuliah. Kebetulan yang memang kebetulan saya masuk ke jurusan Ilmu Jurnalistik yang mana di dalamnya dipelajari juga matkul Komunikasi Visual dan Grafis, serta matkul Reka Bentuk Surat Kabar. Kedua matkul itu sering bersinggungan dengan perangkat lunak grafis macam Adobe sekeluarga dan Corel sekeluarga.
Waktu jaman kuliah juga, saya pertama kali mengunjungi tempat digital printing dalam rangka mencetak poster untuk tugas kuliah. Selayaknya orang yang pertama kali berkunjung ke suatu tempat, berbagai hal yang ada di tempat digital printing saya perhatikan.
Ada deretan komputer untuk bagian desain, ada deretan printer, ada juga printer yang ukurannya sungguh badubangdingkleung (belakangan saya tau bahwa itu mesin cetak spanduk/stiker ukuran besar), tak terkecuali memerhatikan para kasirnya 😍
Namun saya lebih tertarik ke deretan komputer yang sedang dimainkan oleh para desainer percetakan tersebut. Waktu itu saya melihat bahwa posisi desainer di percetakan itu lumayan keren juga. Selain karena saya berminat di bidang itu, kelihatan kerjanya juga cukup santai, serasa menjalankan hobi tapi dibayar. Mantap kali kan? 😎
Secara sadar atau tidak, sejak masa sekolah menengah atas (SMA) saya sering berujar bahwa kelak akan membuka usaha fotocopian (dulu belum tau ada bisnis percetakan).
Menginjak akhir masa SMA saya mulai berkenalan dengan yang namanya Corel Draw lewat mata pelajaran TIK, dari sanalah saya mulai tertarik dengan desain grafis. Semenjak itu saya tekun mempelajari Corel Draw secara otodidak baik itu di Lab Komputer Sekolah maupun di Warnet, karena saat itu saya belum punya komputer sendiri.
Ketertarikan saya pada desain grafis terus berlanjut sampai masa kuliah. Kebetulan yang memang kebetulan saya masuk ke jurusan Ilmu Jurnalistik yang mana di dalamnya dipelajari juga matkul Komunikasi Visual dan Grafis, serta matkul Reka Bentuk Surat Kabar. Kedua matkul itu sering bersinggungan dengan perangkat lunak grafis macam Adobe sekeluarga dan Corel sekeluarga.
Waktu jaman kuliah juga, saya pertama kali mengunjungi tempat digital printing dalam rangka mencetak poster untuk tugas kuliah. Selayaknya orang yang pertama kali berkunjung ke suatu tempat, berbagai hal yang ada di tempat digital printing saya perhatikan.
Ada deretan komputer untuk bagian desain, ada deretan printer, ada juga printer yang ukurannya sungguh badubangdingkleung (belakangan saya tau bahwa itu mesin cetak spanduk/stiker ukuran besar), tak terkecuali memerhatikan para kasirnya 😍
Namun saya lebih tertarik ke deretan komputer yang sedang dimainkan oleh para desainer percetakan tersebut. Waktu itu saya melihat bahwa posisi desainer di percetakan itu lumayan keren juga. Selain karena saya berminat di bidang itu, kelihatan kerjanya juga cukup santai, serasa menjalankan hobi tapi dibayar. Mantap kali kan? 😎
Dari sanalah mulai terpikir bahwa kemampuan desain saya yang biasa aja, cukup qualified juga untuk bekerja di percetakan. Seiring berjalannya waktu, saya pun terbiasa menerima permintaan desain dari teman dengan imbalan seikhlasnya, baik itu uang, makanan, atau ucapan terima kasih cinta.
Meski pernah memimpikan buka usaha fotocopian atau setidaknya bekerja di percetakan, setelah lulus kuliah tentu saya ingin bekerja sesuai bidang yang saya pelajari selama empat tahun dong. Namun sepertinya rejeki saya bukan disana, karena setelah melamar ke berbagai media, nyatanya tak pernah ada panggilan.
Akhirnya saya mencoba realistis dengan bekerja di bidang lain, dan diterimalah saya sebagai Staff Administrasi di perusahaan perbankan. Nampak semakin terlihat saja hilalnya perkataan dosen saya tempo hari. Bahwa anak jurnalistik setelah lulus maka pekerjaannya tak akan jauh dari bank.
Selain menjadi Staf Administrasi yang tiap hari kerjaannya mengurusi data-data (sesekali berhubungan dengan marketing), saya juga sempat dipindahkan ke kantor cabang untuk mengisi posisi sebut saja Customer Service dan Teller (bergantian).
Meski pernah memimpikan buka usaha fotocopian atau setidaknya bekerja di percetakan, setelah lulus kuliah tentu saya ingin bekerja sesuai bidang yang saya pelajari selama empat tahun dong. Namun sepertinya rejeki saya bukan disana, karena setelah melamar ke berbagai media, nyatanya tak pernah ada panggilan.
Akhirnya saya mencoba realistis dengan bekerja di bidang lain, dan diterimalah saya sebagai Staff Administrasi di perusahaan perbankan. Nampak semakin terlihat saja hilalnya perkataan dosen saya tempo hari. Bahwa anak jurnalistik setelah lulus maka pekerjaannya tak akan jauh dari bank.
Selain menjadi Staf Administrasi yang tiap hari kerjaannya mengurusi data-data (sesekali berhubungan dengan marketing), saya juga sempat dipindahkan ke kantor cabang untuk mengisi posisi sebut saja Customer Service dan Teller (bergantian).
Kalau di posisi yang baru saya akan berurusan dengan uang dan berhubungan langsung dengan bermacam-macam wujud dan watak manusia. Salah satu dari manusia itu adalah seorang dosen jurnalistik di salah satu kampus di Bandung. Saya lupa nama beliau, tapi saya ingat betul bahwa rambutnya gondrong.
Beliau adalah salah satu nasabah yang baik dan rutin datang ke kantor. Namun, kedatangannya membawa kebahagiaan sekaligus kesedihan. Bahagia karena saya bisa bertemu dan sesekali berbincang dengan orang yang satu circle. Sedihnya beliau selalu menertawakan saya sebab dianggapnya saya adalah manusia yang salah jalan.
Singkat cerita, dengan berbagai alasan saya resign dari perusahaan itu. Tapi, sebelum benar-benar keluar tentu saya sudah berburu loker dulu, malah pada hari H resign, sembari berangkat ke kantor untuk yang terakhir kalinya, saya sempatkan mampir ke sebuah percetakan untuk memasukan lamaran kerja sebagai desainer grafis.
Dan alhamdulillah ketika itu sedang ada pemiliknya, walhasil langsung interview beberapa saat dan diterima, besok saya langsung diminta masuk kerja. Dalam hati merasa senang, tapi logika berkata bahaya karena saya jadi terlambat masuk kantor.
Pengalaman saya di dunia percetakan pun bermula dari sini. Jika penasaran bisa lanjut ke Part 2 ya...
Beliau adalah salah satu nasabah yang baik dan rutin datang ke kantor. Namun, kedatangannya membawa kebahagiaan sekaligus kesedihan. Bahagia karena saya bisa bertemu dan sesekali berbincang dengan orang yang satu circle. Sedihnya beliau selalu menertawakan saya sebab dianggapnya saya adalah manusia yang salah jalan.
Singkat cerita, dengan berbagai alasan saya resign dari perusahaan itu. Tapi, sebelum benar-benar keluar tentu saya sudah berburu loker dulu, malah pada hari H resign, sembari berangkat ke kantor untuk yang terakhir kalinya, saya sempatkan mampir ke sebuah percetakan untuk memasukan lamaran kerja sebagai desainer grafis.
Dan alhamdulillah ketika itu sedang ada pemiliknya, walhasil langsung interview beberapa saat dan diterima, besok saya langsung diminta masuk kerja. Dalam hati merasa senang, tapi logika berkata bahaya karena saya jadi terlambat masuk kantor.
Pengalaman saya di dunia percetakan pun bermula dari sini. Jika penasaran bisa lanjut ke Part 2 ya...
Posting Komentar untuk "Terperangkap dalam Dunia Percetakan - Part 1"