Sepotong Hati yang Baru
Aku menghela napas perlahan. Bertanya perlahan. Berusaha memutus suasana canggung lima menit terakhir, "Apa kau baik-baik saja?"
Alysa mengangkat kepalanya, mengangguk.
Hening sejenak. Lebih banyak kesunyian menggantung di langit-langit rumah makan. Malam pertemuan ke sekian kalinya aku dengan Alysa, malam ini, malam sekarang.
"Apakah, apakah di hatimu masih tersisas namaku." Alysa ragu-ragu bertanya, dengan suara yang pelan dan cemas.
Aku terdiam. Mengusap wajah kebas.
Ombak semakin kencang menghantam cadas. Berdebur.
Aku sungguh tidak menduga. Setelah setahun berhasil pergi dari segala kesedihan itu. Setelah susah payah menyingkirkan kenangan lama yang selalu menelusuk di malam-malam senyap. Alysa mendadak kembali. Meneleponku dengan suara tersendat. Meminta kami bertemu malam ini.
Dan aku sungguh tidak mengerti mengapa aku harus menemuinya. Semua itu sudah selesai. Bangunan hubungan kami sudah hancur berkeping-keping, bahkan jejak fondasinya pun tidak ada lagi. Hanyut tercerabut setahun silam. Tetapi aku toh tetap menemuinya. Di tempat pertama kali aku mengenalnya. Di tempat ia membatalkan begitu saja rencana pernikahan kami. Di tempat kenangan kami.
Alysa datang mengenakan gaun putih. Syal hijau. Matanya sembap. Wajahnya sendu. Terisak perlahan setelah setengah jam berlalu. Alysa menceritakan banyak hal. Meski lebih banyak menahan tangis. Aku hanya diam. Dulu, setiap melihatnya menangis, aku pasti seolah ikut menangis. Bergegas berusaha menghiburnya, melucu, memberikan kata-kata motivasi, apa saja.
Malam ini, aku hanya menatap kosong ke arah lautan. Menyerahkan sapu tangan. Lantas diam.
Apa yang harus kulakukan? Apa yang Alysa harapkan?
Ketika hati itu terkoyak separuhnya setahun lalu, aku sudah bersumpah untuk menguburnya dalam-dalam. Berjanji berdamai meski tak akan pernah kuasa melupakan. Malam ini saat Alysa bilang hubungan hebatnya dengan pria memesona itu gagal, aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan. Apa aku harus senang? Sedih? Marah? Tidak peduli? Ya Tuhan, ini semua sungguh menyakitkan.
"Apakah di hatimu masih tersisa namaku." Alysa bertanya lagi. Kali ini seperti bertanya kosong.
Aku hanya diam. Lihatlah, Alysa dicampakkan begitu saja. Itu menurut pengakuannya. Apa yang sebenarnya terjadi, aku tidak tahu. Sama tidak tahunya kenapa ia dulu tiba-tiba merasa begitu jatuh cinta dan tega membatalkan pernikahan kami. Itu bukan urusanku.
"Apakah..., apakah di hatimu masih tersisa namaku." Suara Alysa kalah oleh desau angin. Tertunduk.
Aku menggigit bibir, menggeleng, "Kau tahu, saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup dengan hatiku yang hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka aku memutuskan membuat hati yang baru. Ya, hati yang benar-benar baru."
— Sumber —
Penggalan cerpen karya Tere Liye dengan judul yang sama.
Bener-bener menyentuh, ternyata karya tere liye.
BalasHapusGanti lagi mas templatenya?
Hehe iya, karena menyentuh itulah saya repost di sini...
HapusUdah lama ganti mas, nyari yang tampilannya sederhana...