Perkara Pilkada
Tiga hari dah berlalu meninggalkan perhelatan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) Serentak yang di beberapa daerah penuh dengan intrik. Pengurus RW di kampung saya menyelenggarakan Pilkada sesuai instruksi pemerintah yakni tanggal 9 Desember 2015. Dengan mendirikan dua Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk 5 RT. 1 TPS terletak di Kantor RW untuk mengakomodasi warga RT 01, 02, dan 05. Sedangkan 1 TPS lagi untuk mengakomodasi warga RT 03, dan 04 yang letaknya entah dimana.
Ini adalah Pilkada pertama bagi saya, karena lima tahun yang lalu nama saya belum masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dulu mah masih unyu-unyu gitu deh.
Pilkada kali ini tak semeriah yang saya bayangkan. Saya kira, suasana Pilkada akan seperti Pemilu lainnya, layaknya Pileg, Pilpres, Pilgub, Pilkades, dan sebagainya. Selalu ngantri dan berjalan seru hingga kotak suara dibuka dan diketahui rekapitulasi suara tiap calon. Laaah sekarang? Suasana Pilkada berlangsung adem ayem, baru datang ke TPS, ngasih surat ke petugas, langsung disuruh ke bilik pencoblosan. Ini kan tak seru. Tak ada sensasi menunggu yang saya rindukan.
Semoga ini bukan satu bentuk apatisme masyarakat dalam memilih calon pemimpin mereka.
Pilkada Kabupaten Bandung menghadirkan tiga pasangan Cabup dan Cawabup. Dari simbol warna yang masing-masing calon gunakan (No.1 Hijau, No.2 Kuning, No.3 Merah) sudah tergambar dari mana asal-usul mereka. You Know lah.
Dari ketiga pasangan calon, hanya si kuninglah yang saya tau, secara kan dia incumbent yang berganti wakil. Tapi selama menjabat periode yang lalu, prestasinya dirasa kurang mentereng (dibanding pimpinan wilayah tetangga berinisial RK). Memang rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Sedangkan dua calon sisanya (maaf) saya tidak tahu (sama sekali) babat-bebet-bobotnya. Entah karena calonnya yang kurang populer, entah saya yang kurang informasi.
Jadi, harus pilih yang mana? Bingung dah. Namun, mau tak mau, akhirnya saya milih nyoblos nganu... mmmm nganu...
Rahasia lah. Cukup saya dan Tuhan yang tahu, serta paku pencoblosan sebagai saksi bisu.
Tadinya saya akan milih Golput, karena awalnya saya pikir Golput juga sebuah pilihan. Pilihan untuk tidak memilih. Tapi mana mungkin uang rakyat yang digunakan untuk pelaksanaan Pilkada, serta tenaga dan bensin yang saya habiskan untuk datang ke TPS menguap begitu saja. Harus ada output dari pengorbanan itu, yakni punya pemimpin yang dapat menjaga amanah rakyat. Amin :)
Oh iya. Ada satu kejadian unik. Saya pergi ke TPS bareng bapak, karena bapak saya dah lansia jadi harus dikawal. Proses pencoblosan pun dilalui bapak saya dengan semestinya. Namun, sesampainya di rumah, bapak saya curhat begini:
"Kertas na ge euweuh gambaran bieu mah"
Kira-kira artinya begini:
"Barusan kertasnya juga ga ada gambarnya"
Laaah, perasaan tadi ada gambar tiga pasangan calon dah. Kalau kosong, tadi bapak saya nyoblos apaan dong? Jangan-jangan bapak saya nyoblos bagian belakang nganu (baca: surat suara). Dih beraninya main belakang.
Sayang saya gak bisa ngikutin pilkada dia Kabupaten Bandung, sekarang saya berada di daerah yang gak kebagian pilkada. Iya, sih, raya ngerasa Kang Dadang itu kurang cekatan dalam membangun Kabupaten Bandung, padahal kalo dilihat dari mata awam saya, banyak lho yang masih harus dibenahi. Tapi sebenernya saya gak terlalu memperhatikan juga, sih, jadi saya gak begitu paham tentang apa yang menjadi prioritas beliau dalam memimpin Kabupaten. Selama ini saya lebih tertarik memperhatikan perkembangan Kotamadya hehe.
BalasHapusBTW, karunya oge Bapak sapertosna bingungeun milih jagoanna, soalna teuaya potoan. hehe
Wah urang kabupaten oge ning... Ya begitulah, ujung2nya jadi dilema, milih yg ini kurang sreg, milih yang itu belum tau babat-bebet-bobotnya :D
HapusMuhun, maklum tos sepuh hahaha