Berkat Dakwah On The Street di CFD Dago
Minggu pagi saya pergi ke Car Free Day (CFD) Dago. Bukan sebuah niatan untuk menikmati ramainya CFD, melainkan ada janji dengan seorang teman, panggil saja Naya. Tujuannya saya mau minjem novel yang sebenarnya mau minjem sejak Obama masih sekolah di Menteng, tapi selalu tak ada waktu buat ketemu. Nah, kebetulan minggu pagi ini si Naya ada liputan di CFD, saya todong dia saja di sana.
Liputan? Iya, Naya adalah jurnalis dari salah satu Tabloid Islam. Event yang akan dia liput adalah Dakwah On The Street yang menghadirkan Ahmad Heryawan (Gubernur Jawa Barat), Ustadz Erick, dan Imam Besar New York. Wah dari New York, pasti bule nih. Acaranya terdengar cukup menarik, sekalian saja sambil minjem buku juga sambil ikutan acara tersebut.
Walaupun judulnya CFD, saya pergi ke sana via motor, karena jarak Cileunyi-Dago itu lumayan jauh. Kalau jalan kaki nanti CFD-nya keburu bubar (dan orang gila sekali pun mustahil melakukan ini). Tapi ini bukan berarti saya masuk kawasan CFD pake motor ya. Motor saya parkir di bawah jalan layang Pasoepati, tak apa lah, cuma bayar tiga ribu ini.
Setelah parkir motor, saya langsung menuju tempat berlangsungnya acara yang berlokasi di halaman sebuah Cafe yang masih dalam kawasan CFD. Sesampainya di sana, orang yang saya cari belum hadir, saya malah bertemu teman lainnya yang juga mau liputan. Namanya Dita, masih satu media dengan Naya.
Waktu berjalan begitu lambat (Baca: lama) untuk menunggu transaksi pinjam novel berlangsung. Hingga akhirnya pemilik novel pun datang dengan wajah yang hahehoh. Transaksi pinjam novel pun seketika dilakukan secara sembunyi-sembunyi (bayangkan transaksi narkoba).
Setelah transaksi pinjam novel usai, tak berselang lama acara Dakwah On The Street dimulai. Dibuka dengan nasyid, lalu fashion show, lalu nasyid lagi, barulah acara inti berupa Dakwah dimulai. Pendakwahnya ya Ustadz Erick dan sang Imam Besar New York.
Eh, tapi ekspektasi terhadap Imam Besar New York yang saya kira bule itu seketika buyar. Ternyata Imam Besar yang dimaksud berasal dari Bulukumba, Indonesia, dan masih memegang paspor kewarganegaraan Indonesia. Alhamdulillah.
Imam Besar New York, yang juga Presiden dari Nusantara Foundation USA ini bernama Shamsi Ali (Baca: Imam Shamsi Ali). Penampilannya kala itu jauh dari kesan seorang Imam yang dalam benak saya pasti pake gamis, sorban, berjenggot panjang. Faktanya, Imam yang satu ini berpenampilan trendi dan casual (?).
Kiri: Ust. Erick, Imam Shamsi Ali, Kang Emil, Ibu Atalia Kamil - Dok. Dita Fitri Alverina |
Dakwah yang beliau sampaikan pun lebih berupa sharing pengalaman menjalani hidup sebagai muslim di Amerika yang akhir-akhir ini sedang digoyang oleh statement-statement dari Donald Trump, salah satu bakal calon Presiden AS dari Partai Republik. You know lah Trump itu seperti apa.
Beliau juga menceritakan pengalaman diundang oleh Trump ke kantornya yang super mewah. Ceritanya lumayan panjang. Namun intinya, sikap Trump yang memiliki stereotip negatif terhadap islam dikarenakan ia belum memahami Islam sepenuhnya. Sesuai pengakuannya, Trump hanya menjadikan sebuah TV sebagai referensi untuk memahami Islam.
Maka, tak salah jika Trump tertawa melihat Imam Shamsi tersenyum kala berjabat tangan dengannya. Kenapa tertawa? Karena baru pertama kali Trump melihat seorang muslim -terlebih ini seorang Imam- tersenyum. Trump berpikir bahwa orang Islam itu selalu marah-marah, ngajak berantem, seperti yang ia lihat di TV. Masa orang se-level Trump hanya bersumber pada sebuah TV sih. Trump mah gitu orangnya.
Di sela-sela acara, tetiba hadir Walikota Bandung -Ridwan Kamil a.k.a Kang Emil- beserta Ibu Atalia Kamil (istrinya). Kehadiran beliau untuk menggantikan Gubernur jawa Barat yang berhalangan hadir. Kebetulan yang sebenarnya bukan kebetulan bahwa Kang Emil dan Ibu Atalia Kamil dulunya adalah seorang New Yorker. Pernah tinggal di New York, Kang Emil bekerja sebagai arsitek, sedangkan sang istri bekerja sebagai kasir di sebuah toko.
Kembali ke dakwah. Pokonya dakwahnya seputar itu lah (?). Seputar bagaimana menjalani hidup sebagai seorang muslim di era modern #BingungSendiri
Kehadiran Kang Emil bukan hanya sebagai penghias, beliau menceritakan pengalamannya hidup di Amerika. Beliau juga memberikan closing statement yang cukup berarti.
Kang Emil berpesan bahwa berdakwah di negeri yang mayoritas Islam dan sedikit banyaknya sudah mengerti Islam, itu lebih mudah ketimbang berdakwah di negeri yang tau Islam tapi belum mengenal Islam, bahkan memiliki stereotip negatif terhadap Islam.
Kita jangan memiliki fanatisme yang sempit, mempersoalkan hal-hal kecil, namun melewatkan masalah yang lebih besar. Melaknat atau mengkafirkan seseorang atau suatu kaum, sembari masih menggunakan produk buatan mereka. Hiduplah sewajarnya, kedzaliman kita lawan, kebaikan kita sebarkan. Tampilkan Islam yang ramah, bukan Islam yang marah (mirip iklan rokok ya).
Jadi, tak sia-sia dong saya datang ke CFD. Selain bawa novel "Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah" karya Tere Liye, serta novel "Diary Jomblo Darurat" karya Dion Sagirang #HasilPinjaman, juga ada ilmu yang bisa dibawa pulang
Wah keren itu, bisa dapet gratisan dan hal yang menyenangkan lainnya.
BalasHapusAlhamdulillah, iya mas ga sia-sia saya datang ke sana... Dan alhamdulillah nya lagi acaranya gratisan :D
Hapus